Anakku Tidak Mau Curhat Padaku

Tulisan Kirdi Putra Untuk HTII


Anak saya tertutup sekali, sering sekali terlihat kalau dia punya masalah, tetapi hanya dipendamnya di dalam hati. Terkadang saya merasa putus asa, ingin sekali saya menjadi orang tua yang bisa dipercaya untuk dia berbagi cerita.

Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini kesalahan saya?

Ada berbagai karakter manusia, ada berbagai sifat manusia, ada berbagai jenis perasaan manusia. Coba bayangkan kalau Tuhan menciptakan manusia semuanya sama. Sepertinya dunia yang akan sangat membosankan bukan, dimana semua orang sama, reaksinya sama, jalan pikirannya sama, karakternya sama. Nah, terbentuknya sifat, perasaan, karakter, dan berbagai hal dalam diri manusia ini tercipta sebagai sebuah proses. Proses yang berkelanjutan, proses yang terjadi semenjak kita tercipta di dunia ini.


Maksudnya bagaimana? Misalnya begini, ketika seorang anak dari kecil diberikan kebebasan untuk bercerita, ditunjukkan keindahan berbagi cerita, diajak untuk saling bercerita, tanpa di kritik, di komentari, di hakimi (judment), tentu saja dia akan merasa nyaman dan aman untuk menceritakan apapun. Terlepas dari apapun yang diceritakannya, baik positif atau negatif, dia tahu, bahwa rekan bicaranya (orang tua) akan menghargai ceritanya. Yang perlu diperhatikan, adalah bagaimana caranya menanggapi cerita sang anak. Tahukah bahwa terkadang kita cuma membutuhkan teman yang mau mendengar keluh kesah kita? Begitu halnya dengan anak kita. Mungkin berbagai nilai-nilai yang kita ketahui, belum diketahui oleh sang anak? (lho, coba kita lihat, apa yang sudah kita lalui, dan apa saja yang sudah dilalui oleh anak kita, beda jauh kan?) Tapi ini juga bukan memberikan kita hak untuk berkata dalam hati ”kamu kan anak kecil, tahu apa kamu”, apalagi sampai terucap di mulut kita terhadap dia. Belum lagi berbagai nilai-nilai baru yang (mungkin) saja kita bahkan tidak sempat tahu? Tidak sempat tahu? Iya, apakah kita 7 hari dalam seminggu, 24 jam dalam sehari, selalu bersama anak kita? Nggak kan, kita tidak tahu acara TV dan adegan apa saja yang dia tonton (sinetron, kartun, film, dll), kita tidak tahu apa saja masukan dari lingkungan di sekitarnya (guru, teman, pembantu, dll), jadi, banyak sekali yang kita tidak tahu di sini. Nah, coba bayangkan, kalau anak kita sudah bercerita (apalagi dengan susah payah), kemudian tanggapan kita berbeda jauh dengan yang dia harapkan (apalagi tanggapan kita mengkritik, meng”kuliahi”, atau bahkan menghukumnya), kira-kira menurut logika (sebagai seorang anak), apa sih yang akan dirasakan oleh anak kita itu?


Ada sebuah pertanyaan buat kita semua, siapa sih, yang suka kalau cerita kemudian sudah dikomentari, di hujat, di kritik apalagi kemudian disalah-salahkan? Tentu saja lama kelamaan, terbentuk mekanisme pertahanan diri (di dalam pikiran bawah sadar) si anak tersebut untuk melawan, salah satunya dengan diam (seolah-olah, pikirannya berkata ”lho, kalau saya cerita, pasti deh nanti saya di kritik, di salahkan, di komentari, nggak mau ah”). Kalau ini terjadi dalam waktu yang cukup lama, maka ini akan menjadi bagian dari kebiasaan si anak tersebut. Jadilah ini bagian dari karakter si anak, pendiam dan menyimpan semuanya di dalam pikiran dan hatinya.


Salah siapa? Menurut saya, bukan salah siapa-siapa. Hampir tidak mungkin orang tua memiliki niat buruk terhadap anaknya, dengan sengaja ingin membuat si anak takut, tidak PD, pemalu, dan lain sebagainya. Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa sang orang tua belum mengetahui cara berkomunikasi yang tepat untuk berhadapan dengan anaknya, dengan karakteristik sang anak. Belum. Daripada kita menyesali ”kesalahan” yang pernah kita perbuat, bukankah lebih baik kalau kita mulai memikirkan bagaimana cara untuk memperoleh hasil yang kita inginkan? Untuk mengetahui keinginan, cita-cita, dan potensi dari anak kita itu.. dan ini semua membutuhkan sedikit usaha lebih dari kita (tapi, bukankah itu indahnya tugas sebagai orang tua?). Bukankah sebenarnya kita bisa mengatur reaksi dari anak kita, kalau kita mau mencoba untuk mengubah cara kita berkomunikasi dengan mereka? Jadikan ini sesuatu yang fun, sebuah permainan. Anggap saja, kita sedang berusaha berkomunikasi dengan makhluk yang telah dititipkan Tuhan pada kita, dan memiliki cara berpikir yang (boleh saja) berbeda dengan kita, memiliki reaksi yang (bisa jadi) berbeda dengan kita. Jadi, siapa bilang tugas sebagai orang tua itu mudah? Nggak ada, tapi bukankah itu indahnya akan nilai sebagai orang tua? Menjadi telinga untuk anak kita ketika ia bersedih (walaupun saat itu kita sedang sangat lelah), menahan diri untuk tidak menghakimi dan meng-”kuliahi”nya (walaupun saat itu kita sedang kesal), menjadi tangan yang mendorongnya maju (walaupun terkadang kita harus menahan diri untuk melihatnya jatuh). Indah bukan, karena nilai yang kita tanamkan itulah yang akan menjadi pijakannya seumur hidup kelak, dan dengan itulah kita akan dikenang dalam pikiran dan hatinya. Lihatlah keindahannya...


Bagaimana caranya supaya dia mau lebih terbuka pada saya?


Banyak orang yang berkata ”kamu bisa percaya pada saya”, atau ”kamu boleh bercerita pada saya”, tetapi ada sebuah pertanyaan yang ingin saya tanyakan, bukankah rasa nyaman itu tidak bisa dipaksakan? Seperti halnya dengan rasa cinta, rasa marah, dan berbagai perasaan yang lainnya? Apakah kita bisa memilih rasa aman kita bercerita pada orang lain? Apakah kita bisa memilih pada siapa kita jatuh cinta? Susah bukan? Kalau begitu, apakah kita bisa dengan mudah membuat anak kita bercerita pada kita hanya dengan kata-kata (apalagi petuah dan perintah)?


Kalau anak kita belum merasa nyaman, percaya, atau aman (utk hari dan pikirannya) untuk bercerita pada kita, mungkin kita bisa mencoba pendekatan lain untuk bisa berkomunikasi dengannya (dua arah). Bukankah komunikasi itu tidak hanya bicara? Banyak cara komunikasi yang sebenarnya kita sudah tahu (surat, sms, gambar, rekaman suara, dll), yang bisa kita manfaatkan. Mungkin kita bisa mengajaknya untuk bertukar cerita dengan menggunakan surat. Bertukar cerita? Ya, cara termudah untuk membuat anak kita mau berbagi cerita dengan kita, adalah dengan kita dulu membagi cerita atau perasaan kita dengannya. Lakukan ini dengan ketulusan, bukan sesuatu yang dilakukan karena keterpaksaan, ceritakan dengan hati kita. Pakai surat (kuno sekali!)? Iya, kita bisa meletakkan surat yang isinya cerita tentang perasaan, kegiatan, dan banyak hal yang kita alami hari itu, yang kita letakkan di tempat yang hanya dia yang bisa membacanya (meja belajar, tempat tidur, komputernya, dll).


Kenapa begitu? Prinsipnya adalah, kalau kita ingin dia terbuka, maka bukalah diri kita terlebih dahulu. Jadilah contoh untuk ditiru, bukan ”Boss” yang memberikan perintah (kita juga tidak akan curhat ke boss kita di kantor, walaupun dia berkata ”mulai saat ini, kalian bisa curhat pada saya ya”, nggak juga kan? Kecuali memang dari dulu kita sudah bersahabat dengan boss kita itu). Juga gunakan berbagai cara yang mungkin bagi anak kita lebih nyaman (surat menyurat, email, bahkah games-games kecil yang kita lakukan, yang bisa membuat mereka merasa nyaman, bahkan fun untuk berbagi. Terakhir, konsistenlah pada apa yang sudah kita mulai..

Selamat bermain...


No comments: