Anakku Takut Badut

Pertanyaan:

Anak saya takut pada badut dan dia susah sekali beradaptasi di keramaian, walaupun ada kami, seperti di arisan, pesta keluarga, dll.


Apa yang terjadi pada anak saya?


Waduh, takut pada badut? Badut yang seharusnya lucu, malah justru menakutkan buat anak ibu ya.. saya bisa merasakan kira-kira bagaimana rasanya.. coba bayangkan, masalah yang muncul kemudian bukan dari hanya ketakutan itu sendiri, tapi juga perasaan sendiri, perasaan berbeda. Perasaan-perasaan yang muncul karena sementara anak ibu harus merasakan rasa takut tersebut, teman-temannya justru sibuk bergembira ria di sekitar badut itu. Ya, sebuah perasaan yang sangat tidak menyenangkan ya, apalagi bagi seorang anak..


Banyak dari kita kemungkinan besar akan heran, mengapa badut yang seharusnya lucu buat anak-anak, justru menjadi momok yang menakutkan untuk beberapa anak/orang tertentu.

Apakah ini sebuah masalah? Semua hal yang membuat tidak nyaman bagi perasaan kita, bisa dikategorikan sebagai sebuah masalah, sementara besar kecilnya, tergantung pada akibat yang ditimbulkan. Maksudnya gimana? Begini, misalnya anak ibu sedang menghadiri pesta ulang tahun temannya. Anak ibu hanya memilih menjauh dan menghindari untuk berada dekat-dekat dari sang badut.. tetapi selebihnya anak itu mengikuti seluruh jalannya acara dengan baik, tentu ini bisa diartikan bahwa ketakutan pada badut itu hanya menimbulkan akibat atau masalah yang kecil. Tetapi, coba bayangkan apabila ketakutan terhadap badut itu mengakibatkan anak itu menangis (dengan sangat keras) dan berlari (tanpa memperhatikan sekelilingnya) sehingga membahayakan dirinya dan anak-anak lainnya, bukankah bisa dikategorikan sebagai masalah yang cukup besar?

Anak ini mengalami apa yang kita sebut sebagai ”Phobia”, yaitu ketakutan pada hal tertentu secara berlebihan. Phobia bisa disebabkan karena sebuah pengalaman masa lalu, yang sifatnya ”traumatis” atau memperoleh masukan/informasi yang salah dan menyesatkan dari orang di sekelilingnya. Informasi yang salah itu bisa saja dari teman-temannya maupun dari orang-orang di sekitarnya (orang tua, pengasuh, dll) yang menggunakan kata-kata ”badut” untuk menakut-nakuti misalnya. Contohnya? Misalnya:

  • ”ayo bobok, nanti diculik sama om badut”
  • ”kalo nggak mau makan, nanti diambil sama badut lho”
  • ”beresin mainannya, kalo nggak nanti mainannya diambil sama badut”
  • dll

Hal-hal seperti itu yang diucapkan secara berulang-ulang, sehingga masuk dan mempengaruhi pikiran bawah sadar dari anak. Hasilnya? Seorang anak yang ”phobia” dengan badut di dekatnya.. atau juga karena terjadinya trauma, misalnya waktu kecil, anak itu pernah mengalami kejadian yang tidak mengenakkan (menurut pemikiran anak tersebut), dan (kebetulan) ada badut di sekitarnya, sehingga pikiran bawah sadar anak tersebut langsung mengasosiasikan kejadian yang tidak mengenakkan dengan badut. Terbentuklah sebuah phobia badut dari proses traumatis ini.

Dapatkah disembuhkan dan bagaimana caranya?

Konsep dari pikiran manusia adalah, semua hal yang terbentuk di pikiran, dapat dibentuk ulang.. bukan dengan menghilangkan penyebab ketakutan itu dari pikiran, tetapi dengan membentuk nilai baru, yang lebih baik, lebih menyenangkan, pada penyebab ketakutan itu sendiri..

Caranya?

Bisa dengan perlahan-lahan secara lebih sering membawa anak itu pada keadaan yang ada badut di dalamnya, dan dari kejauhan, biarkan anak itu melihat bahwa badut itu tidak mengganggu atau membahayakan anak-anak di sekelilingnya. Perlahan lahan, ajak anak itu untuk semakin mendekati badut yang ada, tentu dengan tetap memperhatikan kenyamanan dari anak itu, serta tidak memaksakan dirinya (karena paksaan dapat memperburuk hasilnya, bukan keberanian, malah semakin takut pada badut di hadapannya).

Cara yang lebih cepat dapat dilakukan dengan mengenal banyak aspek dari anak itu, baik karakter, profil komunikasi, maupun cara anak itu menangkap informasi dari luar, sehingga dengan waktu yang relative cukup cepat, penyebab ketakutan dalam pikiran bawah sadar anak tersebut dapat diubah nilainya (bukan lagi berupa bentuk “ketakutan” didalam pikiran sang anak).

Selamat mencoba…

Cerita Masa Lalu Orang Tua Pada Anak

Saya suka menceritakan masa kecil dan remaja saya dulu ke anak-anak saya. Baguskah untuk perkembangan mereka? Saya tidak mau berbohong atau menutup-nutupi ke anak-anak saya. Apakah masa lalu yang agak “kelam” juga bisa saya ceritakan?

Baguskah menceritakan masa lalu kita pada anak-anak kita?

Bukankah kita bisa belajar banyak dari masa lalu? Untuk hal-hal yang positif atau benar, bisa menjadi dasar pijakan untuk melakukan hal yang sama di masa mendatang, sedangkan untuk hal-hal yang negatif atau salah, bisa jadi acuan untuk tidak kita ulangi lagi di depan, bukankah begitu bukan? Jadi menceritakan masa lalu kita pada anak-anak kita? Selama kita menceritakannya secara baik dan menarik, sehingga banyak hal yang bisa dipelajari oleh anak anak kita, mengapa tidak?

Yang perlu kita tekankan pada diri kita sendiri adalah, bahwa apapun yang terjadi dan kita lakukan dulu, bukan berarti pasti dan harus juga dilakukan oleh anak-anak kita. Nilai-nilai kita (yang terpengaruh budaya, lingkungan, pendidikan, dll) mungkin masih banyak yang sama, tetapi coba bayangkan, dengan makin banyaknya sumber informasi (Radio, TV, Koran, Majalah, Internet), maka kemungkinan anak-anak kita untuk mengadaptasikan nilai-nilai dan pemahaman baru juga semakin besar. Masih ingat ketika kita kecil? Ada berapa stasiun TV yang kita tonton waktu itu, kalau dibandingkan sekarang? Masih ingat berapa banyak tempat-tempat hiburan di kota kita dulu? Ada berapa yang sudah berdiri dan berada di kota kita sekarang?

Semua itu menjadikan hidup menjadi semakin kompleks, bukan dari tatanan nilai-nilainya, tetapi dari jumlah informasi yang masuk ke pikiran anak-anak kita saat ini. Itulah yang membentuk reaksi yang berbeda. Jadi, bercerita? OK, mengharuskan nilai-nilai kita untuk diterapkan pada anak kita? Tunggu dulu...

Apakah masa lalu yang ”kelam” bisa saya ceritakan?

Wahhh... masa lalu yang ”kelam”? Kelam seperti apa? Berbeda lho untuk setiap orang. Mungkin maksudnya ada masa lalu kita sebagai orang tua yang kita anggap salah atau negatif? Kalau ini yang menjadi maksudnya, maka kita sebagai orang tua dapat secara bijak dapat memilih bagaimana cara kita menyampaikannya.

”bukan masalah ”apa” yang hendak kita sampaikan, tetapi ”bagaimana” cara kita menyampaikannya..”

banyak hal-hal yang sebetulnya benar dan positif, yang disampaikan oleh orang tua pada anaknya, tetapi kenapa masih banyak juga terjadi konflik antara orang tua dengan anak? Karena cara penyampaiannya... bukan isi pesannya, tetapi cara penyampaian pesannya yang seringkali menimbulkan konflik.

Maksudnya?

Begini, kalau kita ceritakan pada anak kita, secara lugas, tanpa pesan moral, bahwa kita pernah mengalami dan mencoba berbagai hal-hal negatif di masa lalu kita, bukan tidak mungkin terjadi kesalahan penangkapan maksud oleh anak kita. Hasilnya? Anak kita mencontoh apa yang sudah pernah kita perbuat, dan memberikan pembenaran bahwa ”lho, papa/mama saya juga melakukannya kok..”.

Lalu bagaimana caranya?

Sebelum kita menceritakan hal-hal tersebut, ada baiknya kita menceritakan hal-hal yang baik yang bisa terjadi atau dilakukan oleh anak kita, kemudian kita bercerita bahwa kita pernah melakukan kesalahan di masa lalu, yang seharusnya bisa tidak harus terjadi, tetapi karena kesalahan kita, maka kita menanggung akibat-akibatnya (juga diceritakan). Barulah kita menceritakan masa lalu kita yang ”kelam” tadi, sehingga anak kita juga sanggup mengambil hikmah dari cerita tadi, dan tidak masuk ke tempat yang sama.

Jadi, bukan masalah ”apa” yang akan kita ceritakan pada anak kita, tetapi ”bagaimana” kita menceritakannya yang akan sangat berpengaruh pada kehidupannya kelak.