Anakku Mogok Sekolah

Tulisan Kirdi Putra

Anak saya tidak mau sekolah. Kalau saya bertanya apa yang terjadi, jawabannya selalu saja ”gak mau aja...”. Saya bingung, apa yang harus saya lakukan, karena pendidikan kan penting bagi masa depannya.

Apakah penyebab ia mogok sekolah?


Menghadapi anak mogok sekolah? Memang bukan sebuah perkara yang menyenangkan, tetapi sarat dengan banyak pelajaran baru.

Penyebab seorang anak mogok sekolah? Banyak hal yang dapat menyebabkan seorang anak mogok sekolah, dari suasana belajar yang menurut dia tidak menyenangkan, guru yang galak dan otoriter, teman-teman yang banyak memberikan tekanan, persaingan dalam kelas, dan masih banyak lagi hal-hal yang bisa menyebabkan seorang anak melakukan ”aksi” mogok sekolah. Biasanya hal-hal tersebut dapat menyebabkan trauma di dalam pikiran seorang anak.

Terkadang mencoba menggali penyebab kenapa seorang anak tidak mau bersekolah dapat menjadi sebuah kegiatan yang ”sangat” melelahkan. Apalagi bila anak kita termasuk salah seorang anak yang kurang ekspresif (yang ekspresif aja sudah cukup menantang, apalagi anak kita termasuk yang kurang ekspresif...).

Salah satu penyebab lain dari ketidakmauan anak kita untuk bersekolah adalah cara atau pelajaran yang menurutnya tidak nyaman. Ini menuntut kedewasaan kita sebagai orang tua sekaligus pendidik. Namanya juga anak kecil, ketika ia merasa tidak nyaman, maka reaksi yang ditampakkannya biasanya spontan, yang terkadang membuat kita jadi bingung.

”cobalah berpikir layaknya anak seusia anak kita,

maka kita mampu berkomunikasi dengan anak kita dengan lebih baik...”

Nah, memaksa seorang anak untuk menceritakan mengapa ia tidak mau sekolah kira-kira sama menantangnya dengan membuatnya masuk sekolah lagi. Jadi, bila anak kita belum mau cerita mengapa ia menolak untuk masuk sekolah, biarkan dahulu keadaan ini. Sambil kita mencari cara untuk membuat ia bercerita, atau bahkan lebih advance lagi, mencari hal yang membuat dia mau kembali ke sekolah. Bukankah komunikasi dengan orang lain bisa verbal dan non verbal?

Maksudnya gimana?

Begini, terkadang seorang anak mungkin tidak nyaman atau terbiasa untuk bercerita langsung dengan orang tuanya (mungkin lebih nyaman dengan teman-teman sebayanya). Mengapa? Wah, lebih panjang lagi tuh (mungkin karena teman-teman tidak menggurui, tidak menghakimi, atau telinga teman-temannya lebih ”banyak” dan ”lebar” dibandingkan kita?

Kemampuan mendengar kita terkadang kan perlu dipertanyakan begitu yang kita hadapi adalah anak kita, bukan begitu?).

Nah, jika anak kita belum mau bercerita pada kita secara langsung, solusinya? Saatnya kita BE CREATIVE... komunikasi (sekali lagi) bukan Cuma kata-kata (verbal), tapi bisa juga non verbal (bisa pakai SMS, pakai tulisan, pakai file di komputer, pakai rekaman, email, dll), yang bisa dimengerti oleh anak kita. Mungkin dengan cara yang begitu, sesuatu yang baru, anak kita bisa lebih terbuka, siapa tahu kan? Sudah dicoba?

Bagaimana caranya membuatnya mau bersekolah kembali?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, mungkin ada baiknya kita mulai berpikir, bahwa orang-tua adalah pemimpin, guru, dan teman bagi anak kita. Mungkin ini salah satu saat yang tepat bagi kita untuk sementara memposisikan diri kita sebagai teman. Saat ini, anak kita membutuhkan seseorang untuk mendengarkan dia, memahami dia, dan merangkul dia, bukan seseorang yang dengan otoritas penuh (sebagai bos, bahkan bukan sebagai seorang pemimpin) memberikan perintah, memberikan sanksi, memberikan bujukan, bukan...

Cara paling sederhana membuat anak kita mau bersekolah kembali adalah memahami apa dan mengapa dia berpikir seperti itu. Caranya? Dengan menjadi temannya, berkomunikasi dengannya, dari hati, bukan hanya pemikiran bahwa kalau dia tidak sekolah, maka masa depannya PASTI hancur. Bukan.

Kok begitu?

Kalau kita sudah punya kerangka berpikir masa depan yang HANYA tergantung pada apa yang KITA pikir benar (dalam hal ini, sekolah = sukses, tidak sekolah = gagal, hancur, gak jelas), maka kita ”tidak” akan benar-benar berkomunikasi dari hati kita pada anak kita.

Mengapa?

Paling gampang contohnya, memberikan solusi dan nasehat buat orang lain, apalagi tidak punya hubungan emosi dengan kita, lebih mudah daripada orang yang dekat dan punya hubungan emosional dengan kita (berlaku juga buat saya lho...). Karena dengan orang lain, tidak ada paksaan atau tekanan dari diri kita sendiri untuk melihatnya berhasil, bukan masalah tidak ingin melihat orang lain sukses, berhasil, atau bahagia, bukan, tetapi lebih kepada tidak adanya beban mental. Coba yang kita hadapi keluarga kita sendiri (dalam hal ini, anak kita sendiri), waduh, ada berjuta-juta tekanan di dalam diri kita, yang (sangat) menginginkan untuk anak kita HARUS berhasil. Jadi, yang terasa bagi kita adalah adanya tekanan dari luar (anak kita) dan dari dalam (diri kita).

”seorang teman memberikan telinganya untuk mendengar,

seorang teman memberikan bahunya untuk menangis,

seorang teman memberikan tangannya untuk bersandar,

seorang teman memberikan semuanya tanpa prasangka,

seorang teman menerima kita apa adanya...”

Nah, untuk memahami anak kita, coba lihat dan anggap dia sebagai seorang teman. Apa sih yang dibutuhkan seorang teman ketika sedang susah? Sedang ngambek? Sedang tidak mau melakukan sesuatu? Coba kita lihat dari sudut pandang itu.

Bisa langsung disuruh, kan kita orang tuanya?

Bisa? Bisa, tapi mungkin tidak akan bertahan lama, dan bahkan akan menciptakan resistansi dari si anak lebih besar lagi. Seberapa lama kita mau ”kuat-kuatan” atau ”keras-kerasan” dengan anak kita sendiri? Pilihannya adalah, kita dan anak kita sama-sama tertekan, sakit hati, dan justru akan memperjauh jarak hati kita dengan buah hati kita itu. Bukan ini yang kita inginkan kan?

Begitu kita sudah menjadi temannya, maka lebih mudah buat kita untuk mengerti dan saling mempengaruhi.

Bukan sesuatu yang tidak layak dicoba kan?

No comments: