Apabila saya lapar dan memutuskan untuk membeli salah satu makanan siap saji (setelah menelpon ke nomor tertentu) melalui layan antar, memutuskan membeli paket yang mana, dan sepakat akan harganya, maka ketika makanannya dikirim yang saya lakukan tinggal membayar harga yang telah disepakati sebelumnya. Menurut saya, ketika ada sebuah kesepakatan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih tentang suatu hal sehingga kedua belah pihak merasa diuntungkan (win-win), inilah yang disebut sebagai komitmen.
Ketika seseorang dikatakan melanggar komitmen, yang harus dipertanyakan adalah apakah ada salah satu pasal keuntungan bersama tadi (win-win) yang dilanggar dan tidak sesuai dengan kesepakatan? Atau mungkin ada pasal yang tidak diatur di komitmen awalnya. Misalnya, kalau kita memesan makanan siap saji, jarang sekali kita akan dijanjikan bahwa makanan akan datang dalam waktu x menit bukan? Nah, begitu kita sebagai yang memesan makanan siap saji tersebut sudah sangat kelaparan, tetapi pesanan yang diantarkan tidak juga kunjung datang, apa yang terjadi ketika sang pengirim datang? Mungkin bukan ucapan terima kasih yang diterima, tapi dampratan dari kita sebagai pihak ”korban”. Sedangkan dari sang pengantar, yang diketahuinya adalah bahwa dia sudah berusaha sebaik mungkin mengendarai kendaraannya, supaya sang pelanggan dapat segera mengganjal perut. Siapa yang salah? Kondisi transportasi kita? Jam yang bergerak terlalu cepat?
Jadi, kalau kita mau melihat, apa sih komitmen itu sebenarnya? Jawabannya sederhana: kesepakatan. Yang biasanya menjadi masalah adalah ketika ada tindakan yang dilakukan di luar dari kesepakatan di awal. Jadi biar tidak melanggar bagaimana? Semua dibuat kesepakatannya, termasuk komitmen jika terjadi pelanggaran komitmen. Gampang kan?
Kenapa komitmen selalu menjadi kambing hitam?
Seperti halnya dalam cerita di atas, dalam keseharian kita pun penuh dengan komitmen yang terjadi hari demi hari, baik kita sadari maupun tidak. Misalnya? Ketika kita membuat janji untuk makan siang dengan rekan kerja atau sahabat kita. Terkadang ada beban pekerjaan yang menumpuk, ada panggilan meeting mendadak dari si bos, ada kasus keluarga yang harus diselesaikan, dan sebagainya. Sehingga, kita terpaksa membatalkan janji yang sudah dibuat terlepas dari kemungkinan rekan atau kawan kita yang sudah memberikan waktu khususnya. Mau apa lagi?
Banyak orang mengkambinghitamkan penyebab kita melanggar komitmen itu, tetapi beberapa orang bahkan mengkambinghitamkan komitmen itu sendiri. ”Kalau tidak ada komitmen kan tidak akan ada yang melanggar,” begitu katanya. Sama saja kalau kita bilang, ”Kalau nggak mau lupa sama pelajaran, nggak usah belajar apa-apa.” Lucu sih. Sebetulnya kambing hitam pada komitmen dan penyebab kita (misalnya) melanggar komitmen itu kan bisa dihindari. Bagaimana caranya? Dengan menjadi dewasa.
Maksudnya? Hanya orang yang sudah dewasa (secara mental) menyadari bahwa tidak ada yang tetap di dunia ini. Semua pasti berubah. Bila sepasang kekasih atau suami istri berharap pasangannya tidak berubah, berarti yang harus siap diterimanya adalah kekecewaan yang mendalam ketika ternyata pasangannya mengalami perubahan (baik fisik maupun mental). Lho kok begitu? Iya, begitu. Paling gampang, misalnya kita beli daging di pasar, kita bisa menentukan perubahannya, mau jadi sekeras es (masukkan saja di kulkas), mau dibiarkan hancur dan membusuk, atau mau dijadikan selezat masakan yang dihidangkan di meja makan. Itu semua tergantung komitmen kita ketika membeli daging itu. Apakah kita akan menyalahkan penjual daging, ketika daging yang kita beli ternyata membusuk (karena kita biarkan begitu saja)? Tidak bukan? Tetapi itulah cara untuk tidak mengkambinghitamkan sebuah komitmen, yaitu dengan menyadari bahwa semua bisa berubah (dari awal), dan siap dengan perubahan yang mungkin terjadi. Sekali lagi, siapkan diri untuk berpegang pada tidak terpenuhinya janji. Jadi kita tidak akan menyalahkan siapapun. Sekali lagi, hidup ini pilihan.
Bisa gak kita konsisten dengan komitmen dan bagaimana membuat komitmen bukan merupakan penjara yang membatasi?
Semua orang bisa konsisten dengan komitmen. Cuma masalah bagaimana kita memandang komitmen itu. Ini juga yang akan membuat komitmen bukanlah sebuah penjara yang membatasi, tetapi cakrawala kemungkinan, yang membuat kita kreatif untuk menjalani komitmen itu. Waduh, maksudnya gimana? Coba bayangkan, kita siap dengan semua kemungkinan yang terjadi dan berpegang pada tindakan yang akan dijalani bersama dari awal, dengan pemikiran yang juga sudah disetarakan – bukan disamakan, setiap orang punya dan berhak atas pemikiran yang berbeda. Maka apapun yang terjadi di jalan nanti, kita siap menerima segala konsekwensinya karena sudah dijabarkan paling tidak sebagian besar di awal.
Juga kita akan tahu bahwa kita bisa bergerak bebas dalam komitmen itu kalau semua didasari oleh logika dan hati, bukan hanya sesuai aturan yang berlaku. Bukan sesuatu yang muluk-muluk tapi sesuatu yang bisa saja terjadi di tengah jalan, yang semuanya itu disadari dan dibicarakan dari awal.
Kenapa? Kalau terjadi sesuatu di tengah jalan, bukan lagi pelanggaran komitmen, tetapi yang terjadi adalah komitmen untuk menjalani resiko yang sudah dibicarakan di awal.
Tapi bukannya ketika membuat komitmen sebaiknya berpikir yang terbaik? SETUJU. Pernah dengar kata-kata ”expect for the best, prepare for the worst”? kita memang mengharapkan yang terbaik, membuat tujuan yang terbaik. Tetapi bukankah kita ketika menuju tujuan atau cita-cita kita juga sebaiknya menyediakan payung? Mungkin di tengah jalan hujan. Jadi kalau payung sudah siap, tidak akan menyalahkan hujan yang terjadi di tengah jalan kan? Selamat menjalani hidup berkomitmen...
No comments:
Post a Comment