Aku Tidak Mau Miskin


Aku tidak mau miskin, tapi orang tuaku hidup dari belas kasihan orang lain, dan keluarga besarku menjadikan aku seperti seorang pembantu, mungkin juga karena mereka yang membiayai uang sekolahkuk. Aku merasa ditekan sana sini.

Apakah keluargaku memang ditakdirkan miskin?

Takdir. Apa sih takdir? Sebuah ketentuan atau kepastian? Bahwa sekeras apapun usaha yang kita lakukan, kalau sudah ditakdirkan begini, ya nggak akan berubah? Kalau bukan, kenapa banyak banget orang di luar sana yang kerja keras, pantang menyerah, tetapi setelah tahunan, bahkan terkadang, puluhan tahun, hidupnya nggak berubah?

Lalu kenapa, karena takdir? Manusia termasuk makhluk yang kompleks. Ya, kompleks, karena banyak sekali fakta bahwa banyak orang yang sukses dan berhasil karena usaha mereka yang tidak kenal menyerah. Tetapi di lain sisi pula, banyak juga orang yang sepertinya, usahanya nggak keras-keras amat, tapi juga berhasil, yang tentu saja seperti bumi dan langit, kalau dibandingkan dengan orang-orang yang mungkin sudah puluhan tahun bekerja keras, tapi hidup mereka nggak berubah-ubah juga.. Takdir?

Jawaban yang mudah, namun ternyata, kita bisa melihat lebih dari itu. Ketika seseorang punya pola pikir sukses (bisa juga disebut pola pikir kaya), maka terjadi perubahan pada citra diri orang tersebut (yang menentukan gaya bahasa, bahasa tubuh, dll), sistem kepercayaan dalam hati orang tersebut (yang menentukan kepercayaan diri, keberanian, konsistensi, dll), dan juga kebiasaan yang dilakukannya (disiplin, keuletan, dll). Jadi, ketika seseorang memiliki pola pikir sukses, maka ciri-ciri orang tersebut adalah orang yang tidak mau menyerah begitu saja pada kehidupan, kreatif dan selalu mencari cara lain untuk mencapai tujuannya (apalagi bila cara yang ditempuhnya sekarang tidak jalan seperti yang dimauinya), punya tujuan yang dikejar, dan mampu menahan sakit yang menghalangi untuk mencapai tujuannya tanpa mengeluh (karena yakin bahwa suatu saat dia pasti bisa mencapai apapun yang diinginkannya).

Coba lihat ciri-ciri ini. Ternyata, yang membedakan antara orang yang sukses (winner) dan yang menyerah (looser, saya tidak mau menggunakan kata gagal, kenapa? Karena gagal itu wajar dan biasa, orang yang tidak berani gagal, tidak akan pernah berhasil), bukan sekedar usahanya, tapi apa yang mendasari usahanya tersebut, yang ada di dalam pikirannya.

Jadi bagaimana caranya merubah nasib atau takdir ini? Mulai ubah cara berpikir kita, misalnya, daripada bilang “nggak mungkin saya mencapai posisi itu”, coba ubah kata-kata di pikiran kita dengan “gimana caranya saya mencapai posisi itu?”. Daripada bilang “Gak bisa”, lebih baik berkata “Belum bisa”. Sesederhana itu? Iya, kenapa mesti dibuat rumit? Otak kita merupakan alat yang luar biasa, di dalamnya bekerja pikiran kita. Beri perintah yang tepat, maka otak kita akan mengerjakan apa yang kita perintahkan dengan tepat. Masalahnya, banyak orang yang belum memberikan perintah dengan tepat. Harap diingat, bahwa pikiran kita terbagi menjadi pikiran sadar dan bawah sadar. Yang menjalankan perintah kita (utk sukses, kaya, bahagia, dll) itu adalah pikiran bawah sadar, yang tentu punya cara dan waktu sendiri untuk memenuhi keinginan dan harapan kita itu. Yang dibutuhkan adalah kesabaran dan kesadaran, untuk setiap usaha dan apapun yang terjadi pada diri kita.

Coba dulu, kita akan menemukan hal-hal besar dari hal-hal kecil yang kita biasakan setiap harinya...

Bagaimana aku bisa lepas dari tekanan dan tuntutan balas budi?

Pertanyaan menarik, jawabannya sederhana... hidup ini pilihan, so, pilih aja untuk lepas dari tekanan dan tuntutan balas budi itu, gampang kan? Lho, nanti dibilang ”gak tau diuntung”, atau ”gak tau balas budi”. Ya, kalau begitu, jangan dilupakan, tapi ditunda sebentar..

Maksudnya gimana? Gini, ketika seseorang berbuat ”baik” (apakah baik secara tulus maupun secara pamrih), maka rata-rata orang akan merasa sebuah perasaan berhutang, yang kita sebut sebagai hutang budi. Nah, perasaan ini merupakan perasaan yang sangat wajar, yang menjadikannya tidak wajar apabila terjadi secara berlebihan, yaitu menjadikan kita membenarkan ”apa saja” yang dilakukan oleh orang yang memberikan kita ”kebaikan” tersebut. Yang bisa kita lakukan gimana?

  1. Lihat secara seimbang, kalau seseorang kita membantu kita dengan sebuah pertolongan, katakan pada diri kita untuk bersiap suatu saat menolong dia saat dia kesulitan, dan saat itu hutang budi kita terbalas.
  2. Hutang budi TIDAK harus dibayar sekejab dan kontan... pikirkan aja seperti konsep bank... kan ada kredit.. apalagi kalau yang memberi itu memberikannya secara tulus, maka kita bisa membayarnya di waktu dan kesempatan lain ketika kita juga sudah mampu membayarnya (lebih mudah lagi kalau terhitung, seperti bantuan uang dan semacamnya)
  3. Rata-rata bantuan diberikan dengan tulus, jadi akan lebih menghormati pemberi bantuan tersebut, kalau kita membalasnya suatu saat juga pada saat dia membutuhkannya, dan bisa dalam bentuk apapun (tenaga, materi, teman dikala duka, dll), selama kita membalasnya juga dengan tulus (tanpa keterpaksaan bahwa kita HARUS balas budi).

Jadi? Ya, mulai untuk berpikir bahwa kita adalah manusia bebas, manusia yang penuh dengan potensi... hari ini mungkin kita yang diberi bantuan (tangan dibawah), tapi yakinlah (bukan mungkin, yakin..), bahwa suatu saat kita yang akan memberikan bantuan (tangan diatas, baik untuk balas budi, maupun pada orang lain).

Selamat memberi...

No comments: