By Kirdi Putra
Berikan banyak batasan dan larangan pada anak
Larangan dan batasan yang diberikan pada seorang anak yang bertujuan untuk menjadikannya manusia yang lebih baik seringkali justru menghasilkan sebaliknya. Contoh paling mudah adalah ketika kita menggunakan kata sederhana “jangan”. Kata-kata “jangan” merupakan salah satu kata yang sangat sering kita gunakan untuk memberikan larangan pada seorang anak. “Jangan Nakal”, “jangan naik-naik”, “jangan membantah”, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Tapi, pernahkah kita melihat efeknya ke diri kita sendiri? Misalnya, ada seseorang yang berkata pada kita “Tolong jangan bayangkan, ada seekor gajah yang berwarna merah muda, pakai kaos kaki berwarna kuning, dan belalainya berwarna biru, dan gajah itu pakai topi kerucut warna hijau terang…”. Coba, apa yang terjadi dalam bayangan kita, justru terbayang? Luar biasa bukan, apa yang dilakukan oleh pikiran kita.
Kita bertanya-tanya, kenapa hal itu terjadi? pada dasarnya, pikiran kita tidak bisa menghilangkan apa yang tidak ada sebelumnya. Jadi, ketika kita memberikan kata “jangan bayangkan”, pikiran akan terlebih dahulu menciptakan apa yang dilarang untuk dibayangkan, baru kemudian perintah untuk menghilangkannya dilaksanakan oleh pikiran kita sendiri.
Selesai masalah? Tunggu dulu. Itu yang terjadi dalam pikiran orang dewasa. Seseorang yang telah dewasa, pada umumnya telah memiliki cukup memori, nilai-nilai, dan cukup data dalam pikirannya, sehingga sebagai orang dewasa, kita sanggup menganalisa untuk berhenti melakukan sesuatu ketika kita memperoleh larangan, atau meneruskannya, karena ada alasan sadar maupun bawah sadar dalam tindakan kita.
Pertanyaannya, bagaimana sebuah larangan bekerja dalam pikiran seorang anak kecil? Memori, nilai-nilai, dan data itu terkadang belum cukup didalam pikiran seorang anak, karena kehidupan yang dia jalani masih baru dan masih harus banyak belajar mengenai banyak hal. Yang terjadi kemudian adalah anak tersebut justru mengeksplorasi hal yang menjadi inti larangannya. Ketika anak tersebut mengeksplorasi, berarti ia mulai fokus di hal yang dilarang tersebut, yang membuat pikirannya terkadang kemudian justru menikmati hal tersebut. Jadi, mungkin niat kita memang melarang anak kita untuk melakukan sesuatu, demi kepentingannya sendiri, namun secara tidak langsung, yang kita lakukan adalah memberikannya sebuah pemikiran baru untuk justru melakukan apa yang kita larang tersebut.
Begitu banyak model kalimat larangan yang membuat seorang anak justru akan melakukan sebaliknya daripada yang kita larang, dan ini cukup membuat kita sebagai orang tua bingung dan bertanya-tanya, apakah dengan demikian, berarti kita tidak boleh memberikan larangan terhadap anak kita?
Solusi
Pertanyaannya bukan, apakah kita tidak boleh memberikan larangan pada anak kita? Tetapi, bagaimanakah caranya supaya kita mampu mengarahkan anak kita untuk melakukan apa yang sebaiknya ia lakukan?
Larangan pada dasarnya berawal dari itikad baik orang tua, yang menurut paradigma dan pikirannya, seorang anak akan merasakan hal yang tidak menyenangkan atau justru hal yang tidak menyenangkan itu akan menimpa pada orang tua anak tersebut bila anak tidak dilarang melakukan sesuatu.
Tetapi justru disitulah masalah muncul, kata-kata larangan yang digunakan seringkali memancing pikiran sang anak untuk sekali lagi, mengeksplorasi hal yang dilarang tersebut. Kalau kita mau mencoba untuk “berempati” pada posisi sang anak, kita akan mendapati bahwa ia sedang mencoba untuk mencermati hal-hal yang buat dia merupakan sesuatu yang baru.
Butuh contoh? Misalnya seorang anak, yang kira-kira berumur 3 tahun, sedang memukul-mukulkan sendok/garpu pada sebuah kaleng bekas biskuit. Suara yang dihasilkan pastilah sangat berisik sekali, dan sudah tentu akan mengusik ketenangan orang-orang di sekitarnya. Sebagai orang tua yang “baik”, tentu kita akan sesegera mungkin mencoba untuk menghentikan apa yang sedang anak itu lakukan, tentu saja, dengan memberikan kata-kata larangan padanya, “jangan dipukul-pukul, berisik”.
Pertanyaannya, apakah kira-kira anak tersebut akan “rela” begitu saja menghentikan apa yang dia lakukan? Sebagian besar anak justru akan makin “bersikeras” untuk melanjutkan apa yang dia lakukan. Kenapa itu terjadi?
- karena perintah larangan tersebut membuatnya justru makin ingin mengeksplorasi apa yang dia sedang lakukan/dilarang tersebut.
- karena ia sedang asyik merasakan, mendengar, dan melihat proses yang sedang dilakukannya sendiri (bagi sang anak, bunyi kaleng, sensasi rasa di tangannya, dan pemandangan di depannya merupakan sebuah hal yang baru).
Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan sebagai orang tua menghadapi hal ini, tentu saja bereksplorasi boleh, tetapi sang anak juga harus diajari bahwa apa yang dia lakukan bisa mengganggu orang orang di sekitarnya bukan? Yang bisa kita lakukan sebagai orang tua antara lain:
- mengubah kata-kata larangan yang akan kita lontarkan dengan kata-kata lain yang bernuansa positif, contohnya seperti:
ü daripada berkata “jangan pukul-pukul”, lebih baik kita katakan “main yang lain ya..”
ü daripada berkata “jangan nakal”, lebih baik kita katakan “jadi anak baik ya..”
ü daripada berkata “jangan naik-naik”, lebih baik kita katakan “tetap di bawah ya..”
ü dan lain sebagainya. Selalu ada kata ganti untuk kalimat larangan kita, kalau kita memang berusaha untuk yang terbaik bagi anak kita.
- Lihat apakah yang dilakukan anak tersebut benar-benar mengganggu orang-orang di sekitar kita atau tidak, jika tidak, mungkin tidak ada salahnya kalau kita biarkan ia bereksplorasi dengan hal yang baru dikenalnya tersebut, yang tentu saja akan memperkaya data dan memori di dalam pikirannya. Karena terkadang kita melarang anak hanya karena “menurut” kita, hal tersebut tidak wajar dilakukan, dan bilamana dilakukan, akan mengganggu ketenangan. Ingat, waktu adalah sesuatu yang tidak tergantikan.
- Ketika sang anak melakukan sesuatu yang monoton terus menerus, dan lama kelamaan menjadi hal yang mungkin memang cukup mengganggu, ada baiknya kita “turut” bermain bersamanya, sekedar untuk mencari tahu, apa yang menjadi minat eksplorasinya. Sebagai orang tua, kita bisa memberikan nilai-nilai yang juga mungkin ingin kita tanamkan, sembari bermain tersebut. Sang anak akan relatif menerima nilai-nilai yang kita tanamkan yang bisa kita buat sejalan dengan apa yang sedang ia lakukan. Contohnya? Misalnya:
ü Anak sedang memukul-mukul kaleng biskuit, kita bisa mengarahkan menjadi mengenal musik dan ritme, mengajarinya memukul dengan ritme tertentu.
ü Anak sedang main-main dengan air, kita mampu mengarahkannya menjadi mengenal permainan air, kebersihan, dll.
ü Anak sedang bermain-main dengan makanannya, kita sanggup jadikan itu contoh bahwa boleh bermain, tetapi tetap dimakan, karena banyak yang bahkan tidak bisa membeli makanan.
ü Dll. Banyak hikmah yang bisa kita pikirkan dari situ, banyak hal kreatif yang bisa kita gali dari anak-anak di sekitar kita.
Semua itu merupakan kekayaan dalam kehidupan bagi sang anak, yang masa depannya masih terbentang dengan sangat panjang di depan. Tugas kita adalah menjadi pelatih, pembimbing, coach bagi mereka. Tugas kita adalah bukan menentukan kehidupan mereka, tetapi membantu mereka untuk mengenali potensi diri mereka yang sebenarnya.
Tugas kita adalah melepas mereka kelak, menjadi seorang yang mampu hidup diatas kekuatan dan harga diri mereka sendiri. Kita adalah pelatih, kita adalah pembimbing bagi mereka. Fasilitator bagi mereka, untuk berkembang sesuai dengan hati dan pikiran mereka sendiri.
Siapkah kita?
Kirdi Putra, CHI, CHt, NLP.
Professional Personal Coach
(Professional Hypnotherapy, NLP, Spiritual Enhancement Program, etc)
Hypnosis Training Institute of
Phone. 08561076322
http://htii.blogspot.com/
For things to change, I have to change
No comments:
Post a Comment