Berdiri pada tahun 2004, sebuah lembaga pelatihan dengan spesialisasi training untuk pengembangan soft skill berupa aplikasi Hypnosis. Salah satu aplikasi psychology & hypnosis yang mampu mengubah seseorang dengan cukup cepat adalah metode Mind & Heart Programming. Metode ini berbeda dengan metode pengajaran hard skill yang banyak dikembangkan di Indonesia.
HTII mengucapkan selamat mudik dan berlebaran. Ingat, program diri anda untuk tidak menerima masukan yang merugikan anda dan harta benda. Katakan pada diri anda bahwa anda aman dan tidak terpengaruh oleh segala macam bentuk black hipnotis seperti Gendam dll. Karena anda yang menguasai diri anda sendiri, bukan orang lain siapapun dia.
Bila ada tiba-tiba bertanya pastikan anda tidak terlalu fokus pada jawaban pertanyaan, tapi refleks aja bila tidak tahu katakan saja " Pak/ bu silahkan tanya kepada polisi atau petugas yang ada"
Pastikan semua anggota keluarga dan barang-barang dalam jangkauan pandangan mata anda, dan ajak mereka untuk kompak satu sama lainnya.
Siap P3K, payung, kipas, dan pastinya makanan kecil dan minuman buat buka puasa atau buat si kecil.
Bawalah uang pas yang cukup untuk keperluan perjalanan mudik. sisanya masukkan di bank. Simpan dompet di tempat yang spesial menurut anda.
Anakku divonis oleh dokter mengalami penyakit psikosomatis.
Apakah penyakit psikosomatis itu?
Penyakit Psikosomatis (yang sekarang lebih dikenal sebagai penyakit Psikofisiologis), merupakan penyakit fisik yang gejalanya disebabkan oleh proses mental dari penderitanya. Jika dalam sebuah pemeriksaan medis, tidak ditemukan penyebab fisik atas gejala-gejala yang muncul, atau jika penyakit ini muncul sebagai akibat dari kondisi emosional, seperti kemarahan, depresi, rasa bersalah, maka penyakit ini dapat diklasifikasikan sebagai penyakit psikosomatis.
Psikosomatis disebabkan oleh berbagai masalah dalam pikiran seseorang yang memicu reaksi emosionalnya. Ketika, misalnya, seseorang merasa tertekan, stress, dan kacau, maka tubuh akan bereaksi terhadap pikirannya ini. Rata-rata reaksi tubuh terhadap pikiran yang tertekan dan/atau stress adalah dengan meningkatnya asam lambung (sehingga memicu sakit ”maag”), munculnya gejala ketombe di kepala, adanya gatal-gatal disekitar kulit di sekujur tubuh, rasa mual-mual yang berkala, semua itu biasanya disebabkan karena sebuah beban di dalam pikiran.
Beban pikiran ini seringkali menjadi sebuah ”bibit” untuk penyakit psikosomatis, karena bila tidak segera ditanggapi (baik diselesaikan, diiklaskan, dll), maka beban pikiran tersebut akan semakin kuat berada di pikiran bawah sadar, yang perlahan-lahan mulai menunjukkan gejala-gejala sakit secara fisik.
Bagaimana menyembuhkan penyakit psikosomatis tersebut?
Pada dasarnya penyakit psikosomatis merupakan hal yang sederhana. Mengapa? Karena begitu masalah yang terpendam di dalam pikiran bawah sadar diketahui, dan masalah tersebut diselesaikan, maka saat itupun pikiran memerintahkan tubuh untuk menghilangkan segala gejala-gejala yang muncul. Di situlah saatnya terjadi kesembuhan atas penyakit psikosomatis tersebut.
Masalah diselesaikan, maksudnya?
Iya, sebuah masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara, yang sesuai dengan kondisi masalah maupun diri kita saat itu. Ada masalah yang sederhana dan dapat diselesaikan sendiri, baik dengan menemukan solusi terhadap pekerjaan atau keruwetan yang sedang terjadi, atau dengan membangun sebuah perasaan iklas (release) terhadap kondisi yang sedang kita alami.
Misalnya, kita dapat mencoba mengenali dahulu penyebab penyakit psikosomatis ini, seperti kemarahan, depresi, rasa bersalah, atau apapun yang mungkin menyebabkan pikiran bawah sadar melepaskan tekanan yang terjadi padanya ke gejala-gejala fisik. Setelah kita mengenali penyebabnya (atau kondisi penyebabnya), maka kita bisa memulai untuk menerima kondisi apapun yang sedang kita alami, dan mulai membuat skala prioritas untuk menyelesaikan berbagai masalah penyebabnya satu demi satu.
Penyakit psikosomatis memang sederhana, tetapi butuh suatu tindakan yang tidak mudah untuk menyelesaikan penyakit psikosomatis, terutama untuk menggali penyebab sebenarnya, karena itu adalah salah satu kunci utama dalam menyelesaikan masalah ini. Setelah penyebabnya dapat dikenali, maka tindakan berikutnya sedikit lebih sederhana, yaitu membangun basis kenyamanan dalam diri penderita psikosomatis ini terhadap kondisi dan masalah yang menjadi penyebabnya tersebut. Dengan kata lain, mengiklaskan apa yang sudah terjadi, dan berusaha untuk mencari solusi ke depannya.
(Di sadur dari Reader’sDigest Indonesia yang Diadaptasi dari word to inspire oleh Cynthia Dermody, Reader’sDigest Asia)
Kata dan kalimat yang kita ucapkan dalam sebuah perbincangan dengan si kecil bisa berpotensi menganggu perkembangan anak. Masa sih?Berikut ini adalah beberapa kata dan kalimat yang biasa atau umum diucapkan para orang tua, yang ternyata bisa diartikan berbeda atau bahkan lain oleh si anak. Dan selanjutnya ada kata dan kalimat yang harus diucapkan sebagai alternative yang bisa dipahami anak.
1 Orang tua: ” Kamulah yang terbaik” Diartikan anak : ” Pokoknya tugasmu membuat orang tua senang” Sebaiknya katakan: ” Kamu harus bangga dengan usaha keras kamu”Menurut penelitian Carol Dweck, PhD, psikolog sosial dari Columbia University yang mengajar di Stanford University, anak yang di puji ’berusaha keras’ bernilai ujian lebih baik daripada yang dipuji ’pandai’. Pujian terhadap kemampuan akan menimbulkan anggapan bahwa sukses datang karena mereka memiliki hal tersebut, dan itu mengurangi faktor usaha, sehingga anak takut menghadapi tantangan. Mereka bisa memilih berhenti saat mereka sedang diatas.
2. Orang tua: ”Kita tidak bisa membeli itu.” Diartikan anak: ” Segalanya harus menggunakan uang.” Sebaiknya katakan: ”Di toko ini memang banyak mainan bagus. Di rumah kita masih ada banyak mainan lain. Jadi hari ini kita tidak membeli mainan, ya”Jika anda sering mengatakan bahwa kondisi keuangan yang tidak mencukupi mengakibatkan dia tidak mampu memiliki mainan, maka dia akan merasa uang adalah sumber dari segala kesenangan dalam kehidupan. ” Jika berhadapan dengan anak lebih besar, diskusikan cara tepat untuk mendapatkan barang itu. Misalnya, sebagai hadiah kelulusan,” kata Marcy Axness, Ph.D spesialis pengembangan anak.
3. Orang tua : ”Ngga usah dipikirkan, lupakan saja” Diartikan anak: ” Kamu lucu banget deh, mirip ondel-ondel.” Sebaiknya katakan: ” Ayah paham kamu sedang kesal dan marah. Mau cerita ke ayah, kan?Ketika anak kesal, ”orang tua memberi rasa nyaman lebih besar kepada anak saat men dengarkan. Kenali mood-nya agar dia selalu mau bercerita,” kata Dr. Mel Levine, profesor paediatrik di Universitas of North Carolina, Chapel Hill.
4. Orang tua: ” Jangan bicara pada orang asing.” Diartikan anak:” Semua orang yang kamu tidak kenal akan berbuat jahat kepadamu.” Sebaiknya katakan: “ Jangan bicara dengan orang yang membuat kamu merasa tidak nyaman. Ini caranya ...”Anak jaman sekarang bertemu orang asing dimana saja dan kadang harus berbicara dengannya. Faktanya banyak kasus kejahatan terhadap anak justru orang yang mereka kenal.
5. Orang tua: ” Pinjamkan mainan ke Adek.” Diartikan Anak: ” berikan mainan ke Adek!” Sebaiknya katakan : ” Adek mau main dengan mobil kamu sebentar. Nanti dia kembalikan. Itu masih mobil kamu kok.”Menurut David Elkind, PhD, profesor di Tufts University dan penulis The Hurried Child, sampai usia delapan, anak belum menangkap konsep berbagi. Jadi sebelum mencapai usia itu, Anda dapat mulai mendidik agar dia mengurang sikap mementingkan diri sendiri. Misalnya, dengan mencantumkan lebel nama pada mainan sebelum anda mengambilnya.
6. Orang tua: “ Husss ... jangan bicara begitu.” Diartikan Anak: ” Ayah nggak mau dengar lagi kami bicara begitu.” Sebaiknya katakan: ” Ayah senang kamu mau bicara. Tapi ada satu permintaan Ayah yang tidak boleh kamu lupakan. Kata-kata kamu tadi terlalu kasar, jangan gunakan kata-kata itu lagi, ya”Berhati-hatilah saat anak mengeluarkan kata-kata kasar ketika dia berbicara dengan anda. ” Orang tua seharusnya merasa beruntung jika anaknya mengajak bicara,” kata Vicky Panaccione, Ph. D, pendiri Better Parenting Institute di Melbourne, Florida. Namun jika orang tua terlalu fokus kepada kata-kata saja – Lalu Marah – anak akan diam, dan dialog akan terhenti. Dengarkan, lalu bicarakan keberatan anda tentang kata-kata itu diakhir dialog.
Larangan dan batasan yang diberikan pada seorang anak yang bertujuan untuk menjadikannya manusia yang lebih baik seringkali justru menghasilkan sebaliknya. Contoh paling mudah adalah ketika kita menggunakan kata sederhana “jangan”. Kata-kata “jangan” merupakan salah satu kata yang sangat sering kita gunakan untuk memberikan larangan pada seorang anak. “Jangan Nakal”, “jangan naik-naik”, “jangan membantah”, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Tapi, pernahkah kita melihat efeknya ke diri kita sendiri? Misalnya, ada seseorang yang berkata pada kita “Tolong jangan bayangkan, ada seekor gajah yang berwarna merah muda, pakai kaos kaki berwarna kuning, dan belalainya berwarna biru, dan gajah itu pakai topi kerucut warna hijau terang…”. Coba, apa yang terjadi dalam bayangan kita, justru terbayang? Luar biasa bukan, apa yang dilakukan oleh pikiran kita.
Kita bertanya-tanya, kenapa hal itu terjadi? pada dasarnya, pikiran kita tidak bisa menghilangkan apa yang tidak ada sebelumnya. Jadi, ketika kita memberikan kata “jangan bayangkan”, pikiran akan terlebih dahulu menciptakan apa yang dilarang untuk dibayangkan, baru kemudian perintah untuk menghilangkannya dilaksanakan oleh pikiran kita sendiri.
Selesai masalah? Tunggu dulu. Itu yang terjadi dalam pikiran orang dewasa. Seseorang yang telah dewasa, pada umumnya telah memiliki cukup memori, nilai-nilai, dan cukup data dalam pikirannya, sehingga sebagai orang dewasa, kita sanggup menganalisa untuk berhenti melakukan sesuatu ketika kita memperoleh larangan, atau meneruskannya, karena ada alasan sadar maupun bawah sadar dalam tindakan kita.
Pertanyaannya, bagaimana sebuah larangan bekerja dalam pikiran seorang anak kecil? Memori, nilai-nilai, dan data itu terkadang belum cukup didalam pikiran seorang anak, karena kehidupan yang dia jalani masih baru dan masih harus banyak belajar mengenai banyak hal. Yang terjadi kemudian adalah anak tersebut justru mengeksplorasi hal yang menjadi inti larangannya. Ketika anak tersebut mengeksplorasi, berarti ia mulai fokus di hal yang dilarang tersebut, yang membuat pikirannya terkadang kemudian justru menikmati hal tersebut. Jadi, mungkin niat kita memang melarang anak kita untuk melakukan sesuatu, demi kepentingannya sendiri, namun secara tidak langsung, yang kita lakukan adalah memberikannya sebuah pemikiran baru untuk justru melakukan apa yang kita larang tersebut.
Begitu banyak model kalimat larangan yang membuat seorang anak justru akan melakukan sebaliknya daripada yang kita larang, dan ini cukup membuat kita sebagai orang tua bingung dan bertanya-tanya, apakah dengan demikian, berarti kita tidak boleh memberikan larangan terhadap anak kita?
Solusi
Pertanyaannya bukan, apakah kita tidak boleh memberikan larangan pada anak kita? Tetapi, bagaimanakah caranya supaya kita mampu mengarahkan anak kita untuk melakukan apa yang sebaiknya ia lakukan?
Larangan pada dasarnya berawal dari itikad baik orang tua, yang menurut paradigma dan pikirannya, seorang anak akan merasakan hal yang tidak menyenangkan atau justru hal yang tidak menyenangkan itu akan menimpa pada orang tua anak tersebut bila anak tidak dilarang melakukan sesuatu.
Tetapi justru disitulah masalah muncul, kata-kata larangan yang digunakan seringkali memancing pikiran sang anak untuk sekali lagi, mengeksplorasi hal yang dilarang tersebut. Kalau kita mau mencoba untuk “berempati” pada posisi sang anak, kita akan mendapati bahwa ia sedang mencoba untuk mencermati hal-hal yang buat dia merupakan sesuatu yang baru.
Butuh contoh? Misalnya seorang anak, yang kira-kira berumur 3 tahun, sedang memukul-mukulkan sendok/garpu pada sebuah kaleng bekas biskuit. Suara yang dihasilkan pastilah sangat berisik sekali, dan sudah tentu akan mengusik ketenangan orang-orang di sekitarnya. Sebagai orang tua yang “baik”, tentu kita akan sesegera mungkin mencoba untuk menghentikan apa yang sedang anak itu lakukan, tentu saja, dengan memberikan kata-kata larangan padanya, “jangan dipukul-pukul, berisik”.
Pertanyaannya, apakah kira-kira anak tersebut akan “rela” begitu saja menghentikan apa yang dia lakukan? Sebagian besar anak justru akan makin “bersikeras” untuk melanjutkan apa yang dia lakukan. Kenapa itu terjadi?
karena perintah larangan tersebut membuatnya justru makin ingin mengeksplorasi apa yang dia sedang lakukan/dilarang tersebut.
karena ia sedang asyik merasakan, mendengar, dan melihat proses yang sedang dilakukannya sendiri (bagi sang anak, bunyi kaleng, sensasi rasa di tangannya, dan pemandangan di depannya merupakan sebuah hal yang baru).
Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan sebagai orang tua menghadapi hal ini, tentu saja bereksplorasi boleh, tetapi sang anak juga harus diajari bahwa apa yang dia lakukan bisa mengganggu orang orang di sekitarnya bukan? Yang bisa kita lakukan sebagai orang tua antara lain:
mengubah kata-kata larangan yang akan kita lontarkan dengan kata-kata lain yang bernuansa positif, contohnya seperti:
üdaripada berkata “jangan pukul-pukul”, lebih baik kita katakan “main yang lain ya..”
üdaripada berkata “jangan nakal”, lebih baik kita katakan “jadi anak baik ya..”
üdaripada berkata “jangan naik-naik”, lebih baik kita katakan “tetap di bawah ya..”
üdan lain sebagainya. Selalu ada kata ganti untuk kalimat larangan kita, kalau kita memang berusaha untuk yang terbaik bagi anak kita.
Lihat apakah yang dilakukan anak tersebut benar-benar mengganggu orang-orang di sekitar kita atau tidak, jika tidak, mungkin tidak ada salahnya kalau kita biarkan ia bereksplorasi dengan hal yang baru dikenalnya tersebut, yang tentu saja akan memperkaya data dan memori di dalam pikirannya. Karena terkadang kita melarang anak hanya karena “menurut” kita, hal tersebut tidak wajar dilakukan, dan bilamana dilakukan, akan mengganggu ketenangan. Ingat, waktu adalah sesuatu yang tidak tergantikan.
Ketika sang anak melakukan sesuatu yang monoton terus menerus, dan lama kelamaan menjadi hal yang mungkin memang cukup mengganggu, ada baiknya kita “turut” bermain bersamanya, sekedar untuk mencari tahu, apa yang menjadi minat eksplorasinya. Sebagai orang tua, kita bisa memberikan nilai-nilai yang juga mungkin ingin kita tanamkan, sembari bermain tersebut. Sang anak akan relatif menerima nilai-nilai yang kita tanamkan yang bisa kita buat sejalan dengan apa yang sedang ia lakukan. Contohnya? Misalnya:
üAnak sedang memukul-mukul kaleng biskuit, kita bisa mengarahkan menjadi mengenal musik dan ritme, mengajarinya memukul dengan ritme tertentu.
üAnak sedang main-main dengan air, kita mampu mengarahkannya menjadi mengenal permainan air, kebersihan, dll.
üAnak sedang bermain-main dengan makanannya, kita sanggup jadikan itu contoh bahwa boleh bermain, tetapi tetap dimakan, karena banyak yang bahkan tidak bisa membeli makanan.
üDll. Banyak hikmah yang bisa kita pikirkan dari situ, banyak hal kreatif yang bisa kita gali dari anak-anak di sekitar kita.
Semua itu merupakan kekayaan dalam kehidupan bagi sang anak, yang masa depannya masih terbentang dengan sangat panjang di depan. Tugas kita adalah menjadi pelatih, pembimbing, coach bagi mereka. Tugas kita adalah bukan menentukan kehidupan mereka, tetapi membantu mereka untuk mengenali potensi diri mereka yang sebenarnya.
Tugas kita adalah melepas mereka kelak, menjadi seorang yang mampu hidup diatas kekuatan dan harga diri mereka sendiri. Kita adalah pelatih, kita adalah pembimbing bagi mereka. Fasilitator bagi mereka, untuk berkembang sesuai dengan hati dan pikiran mereka sendiri.